Senin, 10 Juni 2013

Beatbox, Real Art di Antara yang Mainstream

Yah, mungkin judulnya rada klise atau menohok atau something like thatlah. Cuman pengin berbagi pengalaman saja dan mungkin ada juga beatboxer lain yang juga pernah ngrasain. Saat beatbox harus dihadapken dengan (industri) kesenian mainstream (kalau boleh saya sebut pasaran).

Semua berawal ketika 9/6/2013 siang, saya ikut lomba pencarian bakat lokal di kota saya (I won't say it straight). Yah, maju perform sendirian (biasanya kalo dapet tawaran manggung secara grup dalam komunitas saya), sesuatu yang amat tidak biasa, namun juga bersyukur dengan cara seperti ini saya bisa mengekspose skill beatbox saya yang berbeda (I call it Javanese Beatbox Style). Saya bukan seorang beatboxer handal dengan skill belibet macam Alem ataupun Skiller, namun saya menemukan cara menduplikasi suara Gamelan, Dalang dan Sinden (nembang).

Saat Technical Meeting sebelumnya waktu perform masing-masing peserta dialokasikan sekitar 10 menit, pada kenyataannya tidak sampai 8 menit saya sudah di-cut. Lomba tersebut ada 4 juri yang saya tak hapal kompetensinya (kata MCnya sudah mencapai tingkat nasional). Tiba giliran saya main, sempet ada nervous namun semua mengalir berjalan secara lancar. Saya juga sempatkan berinteraksi terhadap crowd penonton dan penonton juga menyambut baik.

I'm done showing my skill dan tiba saatnya juri ngasih komen. Dari keempat juri yang ngasih komen cuma seorang dan yang paling ngondek sendiri. Masih inget bener kalo dia ngomong bahwa skill saya (beatbox) di kota saya masih jarang banget dan saya seharusnya mengajak dancer atau semacamnya biar saya tidak asik sendiri di panggung. Oh man! Where are the judges before? Saya sudah ngembangin komunitas beatbox saya 4 tahun terakhir ini. Dan saya disuruh ngajak dancer? Beatboxer performing their skill alone di luar negeri itu udah biasa, dan disini malah disuruh bawa tambahan, ntar skill beatboxnya gak keekspose donk.

Ada tambahan saran pula, saya disuruh recording dan diupload di semacam Youtube. Dikiranya saya gaptek atau oldskul banget gitu kali ya. Saya sudah punya channel Youtube pribadi dan juga komunitas saya walau sebagian besar kualitasnya masih kurang memuaskan. That's all the comment from the judges, I accept it tapi saya meragukan kompetensi mereka.

Skip, skip dan skip. Tiba waktu pengumuman jam 7 malem dan terlebih dulu diumumkan 16 besar (I don't hear if they say my name). And finally pengumuman ketiga juaranya yaitu juara 3 grup dance pria yang kewanita-wanitaan, juara 2 (mungkin) penyanyi dan juara 1 juga penyanyi. Juara 1nya sempet disuruh nyanyi dulu sekedar buat seru-seruan sebelum pengumuman juara. Sekali lagi ini adalah opini saya pribadi: mereka ngadain acara cari bakat, tapi yang menang adalah bakat yang mainstream, seolah-olah kaya kurang ngehargain the people who deserve for doing the real art (anggap saja saya adalah contohnya). Fine!

Sempet curhat dikit juga soal itu semua ke teman dekat saya, kalau kata mereka event yang model begituan itu sebenarnya sudah diatur. Saya juga tidak heran dengan hal tersebut, saya sendiri yang merasakan semua kejanggalan itu. Meskipun setelah selesai acara ada juri yang mendatangi saya dan memberi lip service kira-kira kaya gini: apa yang tadi kamu lakuin tuh keren, unik, beda dan ngebuka wawasan baru buat saya, mungkin nanti bisa dibikin lomba kayak gitu. Saya pribadi kalo dibaikin orang kaya gitu ya saya baikin balik. Namun di balik itu semua hati saya ngomong gini: kalo memang bakat saya keren, kenapa bukan saya yang juara, kenapa malah yang mainstream yang diblow up? That's the question, dan jawabannya mungkin sudah diceritakan di awal paragraf ini.

Yah, cuman pengin numpahin uneg-uneg dan pengalaman. Ga maksud buat nyerang pihak tertentu karena karena semua saya sebutkan semacam anonim. Semua sudah jadi risiko buat seorang artis yang ngelakuin the real art (bukan yang mainstream dan kebanyakan orang bisa) terhimpit di antara arus pasar yang orientasinya cari untung. Mungkin juga ini gak hanya berlaku buat seorang beatboxer, bisa juga pada artis yang lainnya.

And from all that was happen to me, bisa saya simpulkan kira-kira kaya gini: Mainstream art itu punya harga yang bisa ditentukan, namun the real art adalah hasil dari kreatifitas yang tak ternilai.